Sastra Jawa pertengahan
dalam Sejarah Sastra dan Kebudayaan
Dalam periodisasi sastra Jawa, sastra Jawa pertengahan
menduduki periode tersendiri. Hal ini bisa dilacak dari pusat perkembangan
sastra Jawa, pada zaman Singasari dan Majapahit. Namun demikian tidak semua
karya yang dihasilkan pada waktu itu termasuk sastra Jawa pertengahan. Sebab
pada saat itu penulisan karya sastra berbahasa Jawa Kuna dalam bentuk kakawin
maupun prosa masih tetap berlangsung. Zaman Majapahit karya jawa berbahasa kuna
dalam bentuk kakawin maupun prosa masih tetap berlangsung. Zaman Majapahit
karya sastra bernafaskan islam telah bermunculan terutama didaerah pantai utara
pulau Jawa.menanggapi masalah tersebut
zoetmulder (1983) mengatakan bahwa sastra Jawa pertengahan bukan merupakan
lanjutan dari sastra Jawa kuna. Pertengahan bukan merupakan lanjutan dari
sastra Jawa Kuna. Sebab pembagian secara kronologis dan berdasarkan bahasa
kurang mendukung hipotesis ini. Oleh sebab itu untuk menentukan harus selektif
dan hati-hati.
Worsley (1970) bertolak dari penelitian yang
menitikberatkan pada karya sastra yang ada hubungannya dengan sejarah tetapi
tidak bisa dipisahkan sebagai sastra secara totalitas, dan dianggap sebagai
sastra yang integral. Dengan analisis bentuk, tema peran dan gaya salah satu
karya sastra, seorang peneliti dapat mengetahui tujuan pengarang sewaktu
mencipta dan mengetahui pandangan tentang dunianya baik secara makro maupun
mikro. Bertolak dari pendapat di atas mungkin penelitian dapat dikembangkan
pada karya-karya sezaman dan sejenis secara teoritis diharapkan dapat disusun
sejarah sastra yang agak lengkap dengan menggunakan sumber yang berasal Jawa
maupun Bali.
Sementara itu, pembicaraan tentang sastra, memerlukan
devinisi yang kongkret. Namun demikian teori sastra yang dikembangkan diBarat
tidak relevan untuk membicarakan sastra tradisional di Asia Tenggara. Dalam hal
ini ilmu Antropologi cukup menolong. Sastra dapat dianggap sebagai sistem yang
mempunyai fungsi tertentu bagi masyarakat pendukungnya. Tentang sastra Jawa
bisa mendukung penyesuaian antara manusia dengan masyarakat. Untuk menjawab
masalah tersebut, peneliti beranggapan bahwa sastra merupakan sesuatu yang
aktif dalam masyarakat bukan hanya merupakan objek yang perlu dipelajari dan
dikaji seperti ilmu sastra dan filologi.
Sastra mempunyai jangkauan yang sangat luas, meliputi
tulis, lisan bahkan dipertontonkan. Dalam hal ini penonton sepenting pelaku.
Bahkan batin seseorang mendorong untuk menciptakan karya sastra, yang
memberikan dasar ideology. Dalam sejarah sastra jawa karya-karya sastra Jawa
pertengahan yang dikemukakan oleh para ahli terutama Poerbatjaraka (1957 dan
Worsley (1970,1971) bahwa sejarah atau ‘historical’ dan sebagian besar
merupakan kidung sejarah. Untuk memberikan nama tersebut tentu saja berdasarkan
analisis bentuk dan isi yang diteliti.
Cerita panji merupakan salah satu karya sastra yang dapat
dipakai sebagai sumber sejarah. Rassers (1922) meneliti cerita panji sebagai
disertasi berjudul De Panji Roman dengan pendekatan instruktural. Dari
penelitian itu disimpulkan bahwa cerita Panji terdapat berbagai versi, dan
sangat luas, tetapi semua lengkap. Para sarjana mengatakan bahwa cerita Panji
merupakan siklus. Tetapi setelah Rasles mengajukan pendapatnya bahwa Cerita
Panji bukan siklus, dengan alas an setiap versi lengkap dan bukan merupakan
lanjutan dari yang lain, mereka menerima dan mengakuyi. Karena setiap cerita,
masing-masing lengkap.
Berdasarkan pendapat Rassers tersebut dapat dikatakan
bahwa masyarakat Jawa memiliki falsafah yang sangat tinggi. Salah satu
diantaranya adalah pandanga tentang dunia. Pada saat itu terdapat penggoongan
atau klasifikasi menjadi dua yang bertentangan
tetapi saling melengkapi dan
mempunyai kedudukan yang sama. Pandangan ini menurut pendapat Rassers sudah ada
sebelum masyarakat Hindu juga memiliki pandangan yang sama.
Selain itu beberapa karya sastra memberikan bukti.
Pengarang dianggap sebagai wakil masyarakat. Kalau tema, bentuk, peran dan gaya
telah disepakati, bagaimana peran penikmat dan masyarakat. Robson menyatakan
bahwa ada dua sumber pokok tentang aspirasi masyarakat pada saat itu. (1)
frekuensi relative penggambaran tema tertentu yang diabadikan dalam relief
candi, atau benda purbakala lain, lukisan kain atau kayu. Bila frekuensi tinggi maka cerita itu mungkin
popular,mode sesaat, atau suatu keharusan suatu aliran (agama,penguasa, dan
lain-lain). Misalnya diCandi Sukuh terdapat relief Sudamala dan Bhima Swarga.
Pada Candi Panataran dipahatkan Krsnayan,Ramayana,Cerita panji, Cerita
binatang, dan Sri Tanjung. (2) Berdasar penelitian filologis dari karya sastra
yang lebih mudah peneliti dapat menarik kesimpulan sejauh mana karya sastra
dapat menggema dihati masyarakat. Kalau sebuah karya sastra menyebut judul
karya sastra Klasik, mungkin karya yang disebut cukup popular dikalangan
masyarakat. Misalnya : Wangbang wideha menyebut
empat karya Wignotsawa, Gathutkacasraya,
Kresnayana dan Arjunawiwaha.
Dalam sejarah sastra jawa periode sastra Jawa Pertengahan
hanya menampilkan beberapa karya sastra hasil penelitian ahli. Sedangkan
karya-karya lain banyak yang belum didokumentasikan. Karya-karya itu belum
mendapatkan perhatian dari para peniliti. Apalagi masih dalam bentuk naskah,
dengan huruf jawa, berbahasa jawa.
Dari karya-karya tersebut Cerita Panji menduduki peranan penting karena dapat mewakili karya
lain yang muncul pada zaman yang sama dan penyebarluasanya sampai ke
mancanegara. Dari segi bentuk sastra Jawa Pertengahan memunculkan bentuk puisi
baru, yang menggunakan metrum
nusantara yang disebut kidung. Bentuk puisi tersebut merupakan kreasi orang
jawa yang tidak berkiblat pada bentuk puisi India maupun Jawa Kuna. Dari segi
materi mulai tampak meninggalkan tradisi yang mengikuti sastra Sansekerta.
Suansana pedesaan dan diluar istana mulai tampak menghiasi karya sastranya.
Demikian juga materi yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat tampak dalam
beberapa karya terutama adanya unsure ‘ruwat’ yang menurut poerbatjaraka
merupakan unsure kepercayaan Jawa asli, yang sampai sekarang masih dilestarikan
baik lapisan bawah maupun atas. Kepercayaan ini merupakan upacara yang sangat
sacral dan religius.
Sastra jawa Pertengahan dalam sejarah kebudayaan, para
ahli berpendapat bahasa sastra merupakan
bagian dari Kebudayaan. Oleh sebab itu, dalam karya sastra juga merekam situasi
budaya masyarakat pendukungnya, dengan demikian sastra jawa pertengahan bagian
dari sastra jawa tidak lepas dari aspek budaya masyarakat pada zaman karya itu
ditulis sesuai dengan pendapat bahwa pengarang merupakan wakil masyarakat. Kalau
kita membaca kidung maupun karya yang berbentuk prosa pada periode sastra jawa
pertengahan banyak bahan yang menggambarkan kebudayaan yang tertuang dalam
karya sastra sebagian besar merupakan kebudayaan istana, puri, keluarga raja. Mengapa? Sebab kebudayaan masyarakat diluar
istana banyak yang belum ditulis, dan sebagian besar masih dalam bentuk sastra
lisan. Kecuali itu karya sastra yang berhasil diteliti didominasi sastra
istana. Sebagai dokumen sosiobudaya
sastra jawa pertengahan mengangkat nilai-nilai budaya yang berkembang disekitar
pengarang.
Dalam kidung yang telah diteliti, terdapat berbagai macam
budaya, antara lain: (1) Kebudayaan material atau artefak seperti pakaian
,perhiasan, bentuk rumah, bangunan dan sebagainya. (2) Kebudayaan masyarakat kraton,
termasuk keluarga raja, semua punggawa, dengantingkatan kehidupan yang diatursedemikian
rupa, sesuai dengan tingkatannya. (3) kesenian terutama pertunjukan yang
bersifat dramatis, music, sastra ,dsb (4) upacara, misalanya perkawinan yang
ada kaitannya dengan kepercayaan dan agama serta upaca lainnya. (50 Kebudayaan
masyarakat pedesaan, khususnya suasana dipertapaan, dengan berbagai situasi
yang tentram, damai dengan berbagai kegiatan kemasyarakatan dan keagamaan, yang
tampak dalam Sri Tanjung dan berbagai karya lain yang belum diteliti.
Buku Sastra Jawa Pertengahan
0 komentar:
Posting Komentar